Sunday, October 11, 2015

Another Love Story

Another Love Story

" Ketika ketawadhuan suami yang ahli dzikir telah menyatu dengan keteladanan istri yang hala Al Quran..."

tau kisah Romeo Juliet? udah hapal....
kisahnya LailaMajnun? iya.. tau
ceritanya Sayyidina Ali sama Fatimah? ngerti sih.....
kalo KH. Mubasyir Mundzir dan Nyai Zuhriyah? engg.......


okelah kalo g tau, penulis bakal dongengin buat kalian satu lagi kisah cinta yang ada di Dunia ini. penasaran? let's scroll......
Hari itu, tepatnya pada hari Jum'at ( akhir bulan Juni 1973 ), suasana komplek pesantren Al-Munawwir sedikit berbeda dari hari biasanya, hening dan khidmat. Pada hari itu berlangsung pernikahan KH. M. Mubasyir Mundzir dengan Ibu Nyai Zuhriyyah binti Kyai Munawwir dengan suasana yang sangat sederhana, dan mahar uang beliau waktu itu sebesar Rp. 10.000. Dimana yang bertindak selaku Wali adalah KH. Ahmad Munawwir ( kakak dari mempelai putri ), adapun yang meng-aqad-i adalah KH. Ali Maksum, sedangkan sebagai saksinya adalah Bapak Syai'an dan Gus Thoha. Untuk kemudian Gus Thoha juga yang bertindak sebagai pembaca doa.
Saat pernikahan itu, beliau berusia 55 tahun, dan Ibu Nyai Zuhriyyah berusia 35 tahun, menurut hitungan kalender Hijriyyah. Sebuah usia yang teramat matang dan dewasa untuk membina rumah tangga.
Pada masa-masa awal beliau berdua berumah tangga, saat itu Kyai Mundzir belum mempunyai rumah / ndalem, dan dengan penuh kesetiaan dan pengertian serta pengabdian, Ibu Nyai pun menerima dengan ikhlas, dan bahkan beliau menerima ketika dititipkan ke tetangga apabila Kyai Mundzir sedang ada urusan diluar, tapi begitupun Ibu Nyai Zuhriyyah sedikitpun tidak mengeluh dan sama sekali tidak menyesalkan sikap Kyai Mundzir kepadanya.
Dalam kehidupan sehari-hari, Kyai Mundzir maupun Ibu Nyai Zuhriyyah senantiasa saling menjaga dan menghormati keistiqomahan masing-masing pihak.
Saat menjalani kehidupan rumah tangga, baik Kyai Mundzir yang mashur sebagai 'Abid ( ahli ibadah ) maupun Ibu Nyai sebagai seorang Hafidzhoh ( penghafal Al Quran ) masih tetap menjalankan kebiasaan dan amalan-amalan sebagaimana ketika beliau berdua belum menikah. Tentunya dengan tanpa melalaikan hak dan kewajiban rumah tangga kedua belah pihak.
Seringkali, tatkala beliau selesai sholat dan dzikir, beliau ingin bercengkrama dengan Ibu Nyai Zuhriyyah. Namun begitu melihat Ibu Nyai sedang " nderes " ( muroja'ah hafalan Al-Qur'an nya ), niat itu beliau urungkan dan beliau kembali sholat dan dzikir lagi.
Demikian sebaliknya, tatkala diwaktu senggang Ibu Nyai Zuhriyyah berkeinginan ingin bercengkrama dengan beliau, ternyata beliau masih khusyu' menjalankan sholat dan dzikir sehingga akhirnya Ibu Nyai pun mengurungkan niat tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali terjadi hal-hal yang terkadang membuat trenyuh dan terharu bagi siapapun yang mendengar dan meresapinya.
Seringkali beliau berkata kepada Ibu Nyai, " Nyai, apa uang belanjanya masih ?!". Apabila uang belanja memang habis, Ibu Nyai Zuhriyyah menjawabnya dengan santun dan penuh rasa pengertian, " Uang belanjanya kebetulan habis Yai ?! ". Setelah mendengar jawaban itu, beliaupun kemudian mengajak Ibu Nyai berdoa dengan ucapan lemah lembut, " Ya sudah, mari kita berdoa bersama, saya yang berdoa, Nyai yang mengamininya ".
Tidak berapa lama kemudian, bikaromatillah wa bijuudihi, rezeki pun mengalir mencukupi segala kebutuhan rumah tangga yang penuh berkah ini.
Pernah pula disaat menjelang lebaran, Ibu Nyai sama sekali tidak memiliki uang sepeserpun untuk belanja menyambut hari raya idul fitri. Namun Ibu Nyai pun tidaklah mau mengungkapkan hal ini, hingga beliau ( Kyai Mundzir ) dengan penuh rasa tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga, menanyakannya kepada Ibu Nyai Zuhriyyah. Dan selanjutnya, pasangan suami istri yang sabar dan qona'ah itu berdoa bersama. Tidak berapa lama kemudian bi 'aunillah al hamdulillah, rezeki pun mengalir mencukupi segala kebutuhan belanja lebaran saat itu.
Di saat lain, pada suatu ketika, sarung yang dimiliki oleh beliau telah habis dibagikan kepada para santri, tinggal kini yang melekat di badan dan itupun sudah saatnya untuk dicuci. Beliau pun bertanya kepada Ibu Nyai, sekiranya Ibu Nyai memiliki pakaian yang bisa dijadikan sebagai ganti sarung untuk sholat.
Namun ternyata, Ibu Nyai Zuhriyyah pun tidak memiliki apa yang dimaksudkan oleh beliau. Atas dawuh beliau, akhirnya sprei tempat tidur yang digunakan oleh Ibu Nyai, di gunting dan di bagi menjadi tiga, untuk dijadikan sebagai sarung Mbah Kyai Mundzir.
Sungguh suatu pernikahan yang ideal. Dengan dilandasi niat mulia untuk beribadah kepada Alloh dan ketaqwaan, biduk rumah tangga itu dibangun dengan pilar-pilar saling pengertian, mengarungi kehidupan untuk berlabuh di pelabuhan yang hakiki, yaitu Ridho Alloh robbul 'izzati.
* Saya taslim, bahwa inilah sebuah rumah tangga yang benar-benar dilandasi Ridho Alloh, dan semata-mata mencontoh keteladanan rumah tangga Risululloh.
Sebagaimana sebuah maqolah mengatakan ;
" Cinta itu, adalah dua jiwa dalam satu fikiran, dan dua hati dalam satu tujuan ".
Terkadang kisah cinta tidak harus selalu diwarnai dengan kemesraan kemesraan fisik. Apa yang ditunjukkan oleh KH. Mundzir dan Nyai Zuhriyyah menurut penulis lebih indah dari sekedar "mesra". Mereka berdua sanggup melukiskan indahnya cinta dengan laku yang manis dalam rumah tangga, tak berlebihan tapi tetap terasa romantis. Inilah salah satu keluarga yang bisa dijadikan pedoman dalam berumahtangga. Suami yang menghargai istri dan istri yang bisa menghormati suami.  semoga saya nanti akan bisa menjadi sosok istri seperti bu Nyai Zuhriyyah yang bisa "neriman" dengan apa yang diberikan oleh suami kelak, aamiin....

No comments:

Post a Comment